Para
penyebar Islam di Indonesia tentu saja tidak semata-mata hanya membawa
kepercayaaan dan agama mereka, namun mereka juga membawa kebiasaan atau tradisi
mereka ke Indonesia. Kebiasaan dan tradisi yang mereka bawa ini sangat
mempengaruhi tradisi asli di Indonesia. Kedua tradisi tersebut berpadu menjadi
satu memunculkan tradisi baru yang bernuansakan islami.
Kali ini saya akan mengulas tentang
tradisi yang berkembang di daerah asalku, yaitu Blitar, Jawa Timur. Namun
sebelumnya saya akan menjelaskan sedikit tentang pengertian kebiasaan atau
tradisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tradisi
didefinisikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun (dari leluhur) yang masih
dijalankan dalam masyarakat. Berarti sesuatu yang ditransmisikan turun temurun
adalah adat kebiasaan.
Berikut merupakan beberapa tradisi yang terdapat di
Blitar.
Acara Tahlilan ini biasanya diselenggarakan setelah selesai
proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayat), kemudian
terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali
pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun
dari hari kematian si mayat.
Asal usul
tradisi ini sebenarnya berasal dari kebudayaan Hindu-Budha yang termodifikasi
oleh ide-ide kreatif wali songo, penyebar agama Islam di Jawa. Awalnya tradisi
tahlilan ini belum ada, sebab masyarakat zaman dulu masih percaya kepada
makhluk-makhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu
kepada makhluk-makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang dikehendakinya.
Melihat kenyataan tersebut, wali songo memutuskan untuk tidak hanya menyebarkan
dakwah Islam saja, namun mereka juga mencoba untuk memadukan tradisi lama di
Jawa dengan tradisi dari daerah asal mereka, sehingga memunculkan tradisi
tahlilan yang bernuansa islami, bukan yang bernuansa tahayyul seperti
sebelumnya.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa.
Wayang berasal dari kata 'MaHyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang
mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini
disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau
hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga
menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi
tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang
bisa juga memainkan lakon gubahan. Acara wayang biasanya diselenggarakan ketika
ada yang memiliki hajat seperti pernikahan. Acara ini umumnya dimulai dari
tengah malam hingga menjelang fajar.
Ziarah
merupakan tradisi berkunjung ke makam seseorang, bisa keluarga maupun tokoh
masyarakat. Ziarah ini bertujuan untuk mendoakan si mayat di alam kubur sana
agar diberi perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Biasanya saat berziarah
dibacakan ayat-ayat Alquran dan kalimat syahadat serta doa-doa untuk si mayat.
Di dalam Islam, ziarah kubur semula dilarang oleh Nabi Muhammad saw,
ketika akidah umat Islam belumlah kuat. Ada kekhawatiran bahwa ziarah kubur
bisa merusak akidah umat Islam. Tradisi ziarah kubur pada masa pra-Islam
ditandai dengan adanya permohonan kepada arwah orang yang meninggal. Hal ini
seirama dengan penyembahan terhadap arwah leluhur. Tradisi seperti hampir
dijumpai pada seluruh penyembah arwah leluhur di berbagai belahan dunia.
Lebaran ketupat disebut juga dengan Bakda Kupat dilaksanakan seminggu (7 hari) setelah pelaksanaan hari raya Idul Fitri. Ketupat adalah jenis makanan yang dibuat dari beras dengan janur (daun kelapa yang masih muda) dan dibentuk seperti belah ketupat. Ketupat sendiri mengandung arti menawi lepat nyuwun pangapunten, yang artinya jika ada salah minta ma’af.
4. Lebaran Ketupat
Lebaran ketupat disebut juga dengan Bakda Kupat dilaksanakan seminggu (7 hari) setelah pelaksanaan hari raya Idul Fitri. Ketupat adalah jenis makanan yang dibuat dari beras dengan janur (daun kelapa yang masih muda) dan dibentuk seperti belah ketupat. Ketupat sendiri mengandung arti menawi lepat nyuwun pangapunten, yang artinya jika ada salah minta ma’af.
5. Tingkeban / Mitoni
Upacara Tingkeban adalah
salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni berasal dari
kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan
tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa
pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di
dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil dimandikan dengan air kembang
setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar
selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan
dilahirkan selamat dan sehat.
6. Kenduri
Kenduri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dan
sebagainya. Kenduri atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Selamatan atau Kenduren (sebutan kenduri bagi
masyarakat Jawa) telah ada sejak dahulu sebelum masuknya agama ke Nusantara.
Kenduri ini biasanya dilakukan setelah waktu Isya’
oleh masyarakat laki-laki (pada umumnya). Dalam Kenduri ini akan dipanjatkan beberapa do’a-d’oa.
Permohonan do’a yang dipanjatkan bertujuan untuk meminta keselamatan dan
mengabulkan apa yang masyarakat inginkan.
Hakekat dasar dari
semua tradisi Jawa yang beberapa telah saya sebutkan di atas adalah suatu ungkapan syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan dan kenteraman, namun diungkapkan dalam bentuk
lambang-lambang yang masing-masing mempunyai makna. Jadi, mari kita lestarikan
tradisi-tradisi yang telah lama berkembang di daerah kita masing-masing, selama
itu tidak menentang syariat Islam.
Referensi: